Ikuti Diskusi Seputar Film BIDAAH

KABEREH NEWS | Bidaah adalah film fiksi. Tapi ironi yang diangkat secara naratif dalam film ini sungguh nyata. Ia bukan semata soal Walid - tokoh dukun bersurban yang memelintir agama untuk memuaskan syahwat - melainkan tentang bagaimana simbol-simbol sakral agama diselewengkan oleh mereka yang menyaru sebagai guru spiritual. Mereka merusak iman dengan dalil, menyelubungi kejahatan dengan ayat, atau menggunakan relasi kuasa seperti pangkat, jabatan dan pengaruh. 

Film ini bukan sekadar cerita. Ia menjadi cermin yang memantulkan wajah kusut realitas sosial kita - tentang bagaimana simbol-simbol agama, kuasa, dan ketokohan bisa dijadikan senjata untuk melanggengkan kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Walid, yang dalam film itu tampil dengan jubah keagamaan dan otoritas spiritual, menggambarkan bagaimana legitimasi moral dapat diselewengkan untuk melumpuhkan perlawanan korban.

Tapi penting untuk kita tegaskan: masalah ini tidak eksklusif pada satu institusi. Predator seksual tumbuh di mana-mana, didalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan kampus, dalam institusi keagamaan, dalam dunia kesehatan, bahkan dalam tubuh pemerintahan dan aparat penegak hukum. Kekerasan seksual adalah persoalan sistemik yang menelusup melalui celah kekuasaan yang tak terkontrol, relasi sosial yang timpang, dan budaya diam yang membungkam korban.

Narasi film Bidaah menggugah karena ia menjadi pintu masuk menuju realitas yang selama ini kita sembunyikan di balik rasa malu kolektif. Namun kita harus berhenti merasa malu untuk berbicara. Karena rasa malu itu sering kali lebih melindungi pelaku ketimbang menyelamatkan korban.

Data kekerasan seksual di Aceh menunjukkan tren yang mencemaskan. Korbannya mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Mereka tak hanya mengalami luka fisik dan psikologis, tapi juga dihakimi oleh lingkungan yang seharusnya memberi perlindungan. Dan sering kali, ketika pelakunya adalah tokoh publik, orang berkuasa, atau mereka yang mengatasnamakan agama, maka keadilan justru semakin jauh dari jangkauan.

Diskusi ini diselenggarakan bukan untuk membedah film, melainkan untuk membongkar kenyataan. Untuk mengajak kita semua - santri, mahasiswa, guru, tenaga medis, aparat, orang tua, hingga pemimpin lembaga - membangun kesadaran kolektif: bahwa kekerasan seksual adalah musuh bersama. Dan bahwa simbol apapun - baik agama, akademik, atau kekuasaan - tidak boleh dijadikan tameng untuk membungkam kebenaran.

Rabithah Thaliban Aceh, sebagai organisasi yang lahir dari semangat etika dan moralitas Islam, mengangkat diskusi ini sebagai bentuk tanggung jawab sosial. Kita ingin menciptakan ruang aman, membangun keberanian, dan merawat akal sehat masyarakat. Karena melawan predator bukan hanya tugas hukum, tapi juga tugas moral, tugas kultural, dan tugas kita sebagai manusia.

Kami tunggu sodara-sodara, tuan dan puan di kantor PB RTA.

Sumber : PB RTA

0/Post a Comment/Comments