Oleh : T.M. Jamil (Pengamat Sosial, Akademisi dan Tokoh Publik.)
Adindaku Tercinta ... Aku sangat bersyukur kepada Allah Swt atas pernikahan yang telah terjadi puluhan tahun yang lalu, atas dipilihnya engkau sebagai pendampingku atas dipilihnya engkau sebagai kekasih sebagai isteriku. Aku juga bersyukur bahwa Allah telah mempertemukan aku denganmu untuk menjalani sisa kehidupan ini bersamamu.
Tentu saja, Aku adalah orang asing bagimu, dan engkau adalah orang asing bagiku. Kalau bukan karena mengharap ridha Allah atas pernikahan, mungkin saja engkau akan memilih orang dekat yang engkau ketahui latar belakangnya, tapi karena engkau memilih Allah sebagai pelindungmu atas segala bahaya yang akan datang padamu, atas segala nikmat yang akan tercurah kepadamu maka engkau memilih aku sebagai suamimu meskipun aku sangat asing bagimu. Maka dengan itu pula akupun berdo'a kepada Allah semoga engkau selamat dari bahaya yang timbul karena menikah denganku dan semoga rahmat Allah dapat tercurah kepadamu melalui pernikahan tersebut.
Aku bukanlah manusia sempurna yang terbebas dari salah. Aku hanyalah seorang hamba yang ingin menyempurnakan separuh agama, melaksanakan sunnah nabi seperti para sahabatku lainnya. Aku hanyalah seorang pengembara yang baru saja menemukan pulau tambatan hati, setelah sekian lama terombang-ambing dalam gelombang kebingungan dan kebimbangan, hingga Allah menurunkan rizkinya kepadaku berupa dirimu, sebagai tempat pelipur lara, sebagai tempat berkasih sayang, sebagai tempat berkeluh kesah, sebagai tongkat penunjuk jalan, sebagai pelita dalam kegelapan, sebagai embun dikala dahaga, sebagai tempat berteduh dikala panas, sebagai selimut dikala dingin, sebagai peredam duka dikala emosi, sebagai tempat berpangku mesra dikala gundah gulana dan sebagai tempat mengadu dikala ragu dan buntu.
Sayang … Aku menyadari siapa diriku, maka aku pun tak ingin meminta lebih kepadamu, aku tak ingin engkau secantik Zulaikha,atau secerdas Aisyah, atau sezuhud Khadijah atau semulia Maryam. Aku juga tak ingin engkau se-shalehah Asiah tetapi bersuamikan fira'un. Aku hanya ingin engkau seperti apa adanya, yang menangis dikala sedih, yang marah dikala terluka dan tersenyum dikala bahagia. Aku tidak menginginkan engkau sesempurna istri sang nabi, sebab aku sadar bahwa aku pun tidak sesempurna beliau. Yang aku inginkan adalah bahwa kita saling menjaga agar bisa meneladani sikap mereka.
Jika engkau mengharap harta dariku, ketahuilah aku hanyalah seorang pemuda biasa saat itu, yang penghasilannya dapat engkau lihat sendiri. Aku juga bukan pengusaha yang mungkin bisa mewujudkan semua impianmu dengan uang seperti mereka.
Tapi jika engkau berpendapat bahwa harta dapat membawa kita kepada surga, atau kefakiran bisa membawa kepada kekufuran, aku sangat setuju denganmu. Tapi aku bukanlah Abdurrahman bin auf, atau Abu bakar shiddiq atau Ustman bin affan, yang dengan hartanya bisa membawa mereka ke pintu suurga. Aku mungkin hanya bisa menjadi Abudzar al Giffari, yang hidup dalam kesendirian dan mati dalam kesendirian. Hanya iman yang ia bawa dan istri yang setia yang menemani pada saat-saat terakhir kehidupannya.
Adindaku Tercinta... Justru dengan keberkahan yang In shaa Allah hadir bersamamu, kita bisa bersama-sama mengumpulkan harta sebagai bekal untuk akhirat kita. Justru dengan pernikahan, semoga Allah akan membukakan pintu-pintu rezeki dari arah yang kita tidak sangka-sangka.
Kasih, Saat mengetahui engkau menerima lamaran atau khitbahku. Aku menangis terharu, bumi yang aku pijak seakan bergoyang. Aku tak kuasa menahan rasa bahagia saat itu, saat engkau menyetujui lamaranku. Penantian panjang dan melelahkan yang menghabiskan hampir separuh nafas para pemuda dan pemudi, yang membuat mereka terbangun dikala malam, mengadukan nasibnya pada illahi rabbi, menangis disela-sela rintihan dan doa seraya bertanya kapan masa itu akan hadir menjemput mereka.
Masa-masa yang menggetarkan jiwa, menyenangkan hati dan membuat orang normal seperti orang kekurangan akal, masa yang hakikatnya seperti berjalan dibatas titian besi panas hingga mampu menjerumuskan mereka yang tidak sabar akan datangnya masa bahagia itu. Adindaku, tibanya masa itu merupakan rahmat yang tiada tara bagi para hamba yang bersyukur, yang menyadari bahwa peristiwa pernikahan adalah sebuah perjuangan dan bukanlah sebuah permainan, apalagi untuk dibuat main-main. Itu bukanlah cara yang kita inginkan. Kita ingin sakinah dengan sebuah proses dan perjuangan.
Sayang … Jika engkau mengharapkan ketampanan, kesempurnaan fisik dan penampilan, ketahuilah aku hanyalah seorang manusia biasa, yang lahir dari benih ayah dan ibuku, yang rupa dan bentuk fisiknya tak bisa aku inginkan sesuai mauku. Aku hanya menerima takdir tuhan, beginilah diriku adanya.
Aku tidak setampan nabi Yusuf, tidak segagah nabi Daud, tidak sekuat Umar bin khatab, tidak sehalus Usman bin Affan, tidak sepintar Ali bin abi thalib, dan aku juga tidak sesabar Abu Bakar shiddiq. Jika engkau menginginkan semua sifat itu ada padaku, maka aku berlindung kepada Allah, atas kelemahan diriku.
Tapi jika engkau mendo’akan aku memiliki salah satu saja sifat mulia mereka, maka aku bersyukur kepada Allah atas doamu itu dan juga atas berlipatnya rizkiku karena menikah dengan manusia pemilik do'a sepertimu.
Adinda... Aku dan engkau akan tahu, kita akan menghadapi masa-masa yang akan datang bersama-sama, masa yang kadang indah untuk dikenang, atau pahit untuk diingat. Semua tergantung seberapa besar hati ini mau melapangkan jalan untuk menerima apapun kondisi itu. Sayangku, Jika salah satu sudut hatimu pada saat ini sudah terisi untukku, maka sudut-sudut yang lain isilah dengan rabbi pencipta alam semesta.
Jangan kau isi semua sudut hatimu dengan diriku atau dengan yang lain kecuali Tuhanmu, sebab aku tidak akan sanggup menjagamu bahkan menjaga hatimu, hanya Allah-lah yang bisa menjagamu, menjaga hati dan jiwamu, menjaga fisik dan ragamu. Kamu mungkin bisa melupakan aku, jika aku berbuat kesalahan, kamu bisa saja membuang sudut hati tempatku berpijak dan mengganti dengan orang lain yang sesuai dengan keinginanmu, tapi engkau tidak akan bisa melupakan rabbi pemilik hatimu. Dan aku lebih nyaman jika hatimu dikuasai oleh pemilik alam semesta, ketimbang dikuasai oleh aku atau apapun itu.
Adindaku, In shaa Allah kita akan menjalani tahap-tahap usia pernikahan kita, Pada tahun pertama perkawinan kita, kuharap engkau mau lebih bersabar, mau memahami lebih dalam perbedaan-perbedaan antara kita, sebab kita adalah dua orang asing yang harus mengayuh perahu bersama, jika kita tidak bisa bekerja sama, aku khawatir perahu ini tenggelam ketika baru saja kita meninggalkan pantai. Pada tahun kedua hingga tahun kelima, kuharap engkau sudah mengerti tentang diriku, tentang sifat dan tingkah lakuku. Saat itu mungkin anak pertama kita akan lahir dan tanggung jawab kita sebagai orangtua baru dimulai.
Aku berpesan kepadamu, Kemuliaanmu sebagai seorang ibu telah dimulai, jika engkau merasa capek dan lelah janganlah sungkan-sungkan untuk meminta tolong kepadaku. Meski aku tahu pada saat itu mungkin kehidupan kita masih prihatin. Tapi aku yakin anak-anak kita yang masih lucu dan kini semuanya telah dewasa akan mampu menghapus semua duka lara, letih dan lelah serta rasa capek dan lelah karena tugas kita. Tugasmu sebagai madrasah yang memberi pendidikan agama dan nilai luhur para orang saleh pendahulu kita, dan tugasku membantumu membumikan pendidikan itu.
Pada tahun kelima hingga kesepuluh, mungkin kita akan didera oleh kondisi keuangan karena saat itu kebutuhan kita akan meningkat, anak-anak beranjak ke sekolah dan kebutuhan rumah tangga akan meningkat. Aku memohon kepadamu, bantu aku dengan doa-doamu, dengan dhuha dan tahajudmu dengan zikir dan shadaqahmu, semoga masa-masa sulit segera pergi hingga Allah memenuhi janjinya kepada kita.
Pada tahun kesepuluh hingga keduapuluh, dan seterusnya mungkin Allah telah mengalirkan rezeki yang deras kepada kita, kehidupan mulai mapan, kesejahteraan mulai datang, dan anak-anak mulai dewasa. Aku memohon kepadamu, bantu aku menguatkan batin dan jiwaku agar aku tidak terperosok kedalam jurang kenistaan, karena godaan dunia berupa harta tahta dan wanita. Sadarkan aku tentang umur dan usiaku yang mulai menua juga temperamenku yang mulai meninggi dimakan usia. Bantu aku bersahabat dengan anak-anak kita, berikan mereka pengertian tentang arti kehidupan sesungguhnya, karena sebentar lagi mereka akan memilih jalannya masing-masing.
Pada tahun ketigapuluh dan sesudahnya, aku tak pernah tahu apakah kita akan sampai disitu, yang jelas kita akan kembali berdua, anak-anak lelaki kita akan pergi dan anak perempuan akan mengikuti suaminya. Kita hanyalah sepasang manusia renta yang tak bisa melawan takdirnya. Ku ingin saat itu, hari-hari kita hanya dipenuhi zikir dan tasbih, dipenuhi munajat dan do’a, seraya menunggu utusan Tuhan datang menjemput.
Aku ingin engkau dan aku tetap menjadi pasangan di dunia dan akhirat, jadi ku mohon kita saling menjaga, saling memberi peringatan dan tausiah agar tujuan pernikahan ini sesuai dengan yang kita harapkan. Terakhir aku ingin kado ku ini menjadi prasasti cinta kita, yang tertanam jauh dilubuk hati, sehingga jika terjadi goncangan, kita selalu kembali ke komitmen awal pernikahan. Semoga Allah Swt senantiasa memberikan kita bimbingan dan petunjuk-Nya. Aamin, Ya Rabbal Alamin.
Sagoe Atjeh Rayeuk, 22 Desember 2024.
Posting Komentar