Ketika "JABATAN" Kepala Daerah Membutuhkan Modal, Renungan Pasca Pilkada Serentak 2024


Oleh : TM. Jamil, Dr, Drs, M.Si
Associate Profesor, Pengamat Politik - Akademisi, USK Banda Aceh.

KEMENTERIAN Keuangan Republik Indonesia menyebutkan total daerah yang telah melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Dan menurut data menelan biaya lebih kurang Rp. 41 Triliun. Itu uang semua. Bukan daun pisang lho ... Uang itu dikeluarkan pemerintah yang berarti berasal dari uang kita, ya uang seluruh rakyat Indonesia.

Angka yang telah disebutkan itu adalah ongkos penyelenggaraannya. Ongkos yang dikeluarkan bakal calon pejabat daerah lain lagi. Calon bupati atau wali kota butuh dana Rp. 20 miliar hingga Rp. 100 miliar untuk memenangi pilkada. Tiap pilkada angkanya naik signifikan. Sebagai contoh, berdasarkan data, sebut saja, Pilkada DKI Jakarta 2012, Jokowi dan Ahok mengeluarkan dana Rp. 16,1 miliar. Pada Pilkada DKI 2017, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menghabiskan dana kampanye sebesar Rp. 85,4 miliar. Wooww... mahalnya sebuah "jabatan".

Tahap kampanye menguras dana paling banyak. Untuk menarik perhatian publik, partai atau bakal calon yang akan maju pilkada membuat baliho, beriklan di media massa hingga melakukan survei. Selain itu, calon juga harus menarik dan merayu partai pendukung, agar mengusulkan dirinya. Partai biasanya menetapkan “mahar” bila ingin didukung. Soal mahar politik mengemuka saat La Nyalla Mattalitti mengatakan diminta mahar Rp. 40 miliar oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto waktu itu, bila ingin maju di Pilkada Jawa Timur. Meski soal mahar itu dibantah Prabowo maupun Gerindra, kita tak bisa memungkiri ongkos politik berlaga di pilkada tidaklah murah. Lalu bagaimana pula dengan Pilkada Aceh 2024?. Di saat yang sama kita juga berhak bertanya, apa ongkos pilkada harus semahal itu? Yang sudah berpengalaman, pasti paham itu. Selebihnya, Wallahu Aklam. 

ADVERTISING 

Terlepas data dan informasi itu benar atau fitnah, tentu bagi kita sebagai warga negara yang baik hanya bisa mendengar dan membaca saja apa yang tertulis dan dipublish. Biarkan orang lain atau penegak hukum yang akan bertindak. Mahalnya "ongkos politik" yang dikeluarkan calon pejabat konon katanya menjadi salah satu penyebab sang calon melakukan korupsi ketika menjabat. Istilahnya, ia ingin balik modal. Di sini, mengabdi pada kepentingan rakyat dinomor-sekiankan. Yang penting modal balik dulu, bila perlu pundi-pundi bertambah saat menjabat kepala daerah. Apa mental macam ini dampak dari demokrasi yang mahal tersebut? Wa Kafa Billahi Syahida.

Rakyat kita pun tak mendapat pendidikan politik yang mencerahkan, apalagi mencerdaskan. Rakyat tahu tiap pilkada, pileg dan pilpres, suara mereka dibutuhkan elite dan politisi. Maka mereka menyorongkan suara untuk dibeli. Ini menambah lagi ongkos politik. Salah siapa politik uang lazim terjadi setiap pemilu? Rakyat yang menerima atau politisi yang memberi? Bisakah rantai ini diputus? Berpikirlah wahai anak bangsa …

Di Amerika yang sistem demokrasinya telah berjalan dua ratusan tahun lebih, namun ongkos politik di sana juga terlalu mahal. Seorang kandidat presiden, anggota DPR atau senator, misalnya, kerap bertekuk lutut pada lobi-lobi perusahaan dan kepentingan politik tertentu demi logistik terpenuhi. Alhasil, ketika terpilih mereka tersandera oleh kepentingan yang diusung penyandang dana saat harus kampanye. Soal pengendalian senjata, misalnya, pemangku kebijakan di AS tak bisa mengabaikan lobi NRA (Asosiasi Senapan AS) dan perusahaan senjata dibelakangnya.

Melihat kenyataan di atas, ongkos atau biaya politik yang mahal pada gilirannya tak mensejahterakan rakyat banyak. Pejabat berlaku koruptif demi balik modal; atau bila pun tidak, kepentingan rakyat dikesampingkan demi kepentingan korporasi atau penyandang kampanye sebagai balas budi dan jasa. Melihat kenyataan di atas, kita bertanya-tanya: apakah mahal itu adalah kudrat dari proses demokrasi? Tidak bisakah demokrasi menjadi lebih murah?

Mari Ikuti Analisis Kami Berikut ini. Menurut saya ada dua hal yang bisa mendorong seseorang kepala daerah melakukan korupsi. Pertama, sistem politik kita yang sangat mahal. Dalam arti membutuhkan biaya tinggi. Dimulai dari sewa perahu partai, pembiayaan tim sukses (termasuk biaya survei dan saksi), biaya kampanye di masyarakat dan seterusnya. Situasi ini mustahil bisa dipenuhi oleh “orang-orang” yang hanya punya orientasi pengabdian suci kepada masyarakat.

Sehingga dia harus mencari sponsor, dan “utang” alias pinjaman awal pada sponsor inilah juga seringkali menjadi faktor pendorong korupsi para Kepala Daerah. Korupsi itu terjadi bisa juga karena lemahnya kontrol dari masyarakat. 

Kedua, lemahnya karakter seorang kepala daerah melawan sistem keuangan penyelenggaraan pemerintahan juga ikut berperan besar mendorong terjadinya korupsi. Meskipun di sana-sini sudah diciptakan sistem pengawasannya, tetapi karena ketidakberdayaan sang kepala daerah, akhirnya ikut larut dalam situasi ini yang juga melibatkan peran oknum-oknum anggota DPRD/DPRK.

Soal masih banyaknya pihak yang mau menjadi kepala daerah, tentu saja harus dilihat sebagai bagian dari keinginan mengembangkan diri di satu pihak, di lain sisi juga anggapan bahwa “terkena OTT KPK” itu bagian dari nasib sial saja dan itu sebuah risiko yang harus diterima, karena mereka juga mengerti pola ini terjadi pada seluruh sistem pilkada. Inilah sisi negatif dari demokrasi langsung di satu sisi, dan lemahnya kelembagaan partai politik sebagai pemasok kader pimpinan bangsa pada sisi yang lain.

Kalau negara membiayai ongkos politik, sudah dicoba, sekarang biaya kampanye resmi sudah ditanggung negara. Tetapi kembali kepada manusianya. Bisa terjadinya korupsi itu karena dua hal, antara lain: karena kebutuhan (needs) (para kepala daerah yang tidak punya modal itu ada di situasi ini); dan karena keserakahan (greedy). Ini biasanya dilakukan oleh kepala daerah ada yang sudah kaya, tapi terus menumpuk kekayaan (seperti Najib Razak di Malaysia). Meski belum tentu penegakan hukum bisa menyelesaikannya, tapi pada saat ini rasanya menjadi pilihan yang tepat dengan menghukum secara maksimal seumur hidup bagi para koruptor.   

Hampir Dapat Dipastikan Kekuasaan Itu Cenderung Untuk Berindak Korup. Elite politik Indonesia sama dengan elite seluruh dunia semuanya pakai resep Brutus-Ken Arok-Machiavelli 3-in-1. Jadi tidak usah heran atau ber-wishful thinking bahwa elite Indonesia itu malaikat dan ksatria, sportif dan gentlemen. 

Semua ada egonya dan saling salip di tikungan secara brutal, tidak etis dan menghalalkan segala cara. Kadangkala sahabatnya sendiri dikhianati. Dan memang manusia itu bukan dewa, nabi atau malaikat. Kebanyakan dari mereka tidak tahan godaan kekuasaan dan bisa berubah sifat karakter, sebelum dan setelah menggenggam kekuasaan, akhirnya hukum karma akan berlaku dan dijatuhkan secara tidak pilih kasih oleh Tuhan Yang Maha Kuasa seperti berakhirnya kekuasaan Soekarno dan Soeharto dalam 53 tahun pertama RI 1945-1998.  

Dalam tempo 32 tahun kita seolah-olah berjalan di tempat dan tidak pernah mampu meningkatkan kualitas industrialisasi dari substitusi impor menjadi industri yang berdaya saing global. Birokrasi Indonesia sudah jadi pemburu rente, dan pengusaha yang dilindungi dengan sistim KKN Orde Baru, menjadi “manja” dan tidak berdaya saing global tidak mampu mengekspor dan memupuk surplus devisa. 

Kita harus back to basic. Harus hancurkan pungli, harus ubah birokrat dari pemburu rente, jadi pemberdaya (steward). Karena itu birokrasi harus digaji yang tepat agar menjadi pelayan masyarakat awam dan investor, agar ICOR kita turun dari 6,4 jadi 2,3. Pengusaha yang diberi kemudahan NIB atau Nomor Izin Berusaha Tunggal, tidak perlu menunggu berbulan-bulan dan beaya tidak jelas yang menambah nilai ICOR mengakibatkan kita tidak berdaya saing. 

Jadi ini kampanye anti koruptor dan juga terpidana lain seperti kriminal membunuh orang dan seterusnya tentu harus jalan terus. Kalau tidak, ya percuma saja kampanye tentang Revolusi Mental dan hanya memperindahkan ucapan bibir. Sebab itu harus dipraktikkan dengan kinerja delivery dan bukan dengan indoktrinasi atau penataran model Kader Nasakom atau Manggala P7 zaman Orla dan P4 zaman Orba.

Zaman Reformasi, butuh praktik, contoh soal dan itu yang diberikan oleh Presiden. Sayangnya itu tidak dilakukan secara simultan, massif dan terstruktur. Seluruh birokrasi terutama, justru ujung tombak, ibarat resepsionis di ujung kantor yang melayani administrasi masyarakat awam. Birokrasi harus bermental stewarddan bukan pemburu rente.

Kalau itu terjadi niscaya Indonesia tidak perlu ketinggalan dari RRC, yang baru membangun 1979 sejak Deng Xiao Ping kembali ke teori pasar karena gagal Marxisme 30 tahun. Sedang Soeharto sibuk membangun sejak 1967 hanya menemukan dirinya terpuruk 1998. Jer basuki mawa bea tetap berlaku kapan saja, dimana saja, dan rezim apa saja. Anda harus produktif, kreatif, proaktif dan berinisiatif dan menghasilkan yang tangible infrastruktur maupun yang intangible, rezim dan sistem pelayanan masyarakat yang memberdayakan masyarakat.  

Kalau mau sulap sihir dan “mukjizat” tidak mungkin bisa terjadi, sebab Allah Swt tidak akan memberkati orang yang korupsi dan menindas HAM rakyatnya sendiri dengan pelbagai alasan konyol dan berapi api, seperti elite yang gonta-ganti posisi. UUD digonta-ganti, sistem dan mekanisme pemilu digonta-ganti, semua tujuannya untuk melanggengkan kekuasaan agar orang lain berada dalam kesusahan. Seperti judisial review tentang presidential threshold kan semuanya berbasis agenda subyektif oposisi terhadap incumbent. Tapi percayalah Allah Swt tentu lebih cerdas dari elite yang acapkali mereka “terlilit” dari kebodohan dan keangkuhannya. 

Ketika Ongkos Politik Itu Terlalu Mahal, Maka Jalan Untuk Melakukan Korupsi Acapkali Pintunya Terbuka. Mahalnya ongkos politik dalam praktek demokrasi yang tengah berlangsung saat ini merupakan satu kesatuan peristiwa yang tidak terpisahkan dengan fenomena munculnya kotak kosong dalam Pilkada Serentak 2024.
Dalam berbagai analisis terdahulu telah terjelaskan betapa proses politik yang terjadi dalam Pilkada 2024 sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai praktek demonkrasi. Sebuah proses politik yang berlangsung di bawah kendali oligarki politik dimana rakyat diposisikan tidak lebih cuma sekedar kerumunan massa yang dimobilisasi sebagai ornamen politik (mobokrasi) dengan menggunakan berbagai sentimen isu-isu primordial SARA yang dangkal, emosional dan jumud.

Praktek demonkrasi juga menyertakan kehadiran para plutokrat yang dengan kekuatan kapitalnya berusaha mempengaruhi proses demokrasi untuk memastikan kelangsungan bisnisnya terus berkembang dengan penuh privilese di bawah perlindungan penguasa baru yang nantinya terpilih.

Rakyat, siapapun itu, dalam konteks negara harus dipahami sebagai mereka yang tidak terlibat duduk dalam pemerintahan. Dalam prinsip demokrasi, rakyat juga adalah warganegara yang berperan aktif sebagai subyek politik yang memiliki daulat dan martabat. Namun faktanya di dalam praktek demonkrasi, rakyat dalam konteks mobokrasi hanya hadir menjadi obyek politik yang telah kehilangan daulat dan martabatnya sehingga dengan mudahnya dieksploitasi demi kepentingan oligarki politik dan para plutokrat.

Rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat seiring juga dengan rendahnya kecerdasan politik rakyat menjadi sasaran empuk para plutokrat untuk menjadikan para kandidat kepala daerah tampil di pentas politik layaknya seperti Maecenas dalam wujud money politics dengan bungkus topeng kedermawanan. Bagi rakyat, pesta demonkrasi tidak lebih hanya peluang usaha untuk mengais tambahan uang, mirip seperti halnya kemunculan tiba-tiba para pedagang kaki lima di setiap ada kerumunan massa, sesederhana itu.

Rakyat hanya memanfaatkan peluang untuk membalik keadaan dari yang tadinya dieksploitasi menjadi yang mengeksploitasi. Setelah satu masa periode pemerintahan selama 5 tahun mereka hanya menjadi obyek eksploitasi dari penguasa terpilih tanpa mempedulikan kesejahteraan rakyat. Maka tidak salah jika kemudian rakyat melihat Pilkada secara pragmatis sebagai peluang untuk menyejahterakan dirinya dengan mengeksploitasi oligarki politik yang disponsori oleh dana para plutokrat.

Gambaran di atas semakin memperjelas dan mempertegas bagaimana senyatanya pola interelasi dan interaksi yang terbangun antara pemerintah, rakyat dan pengusaha yang diwakili oleh oligarki politik, mobokrasi dan plutokrasi; inilah yang menghidupkan mesin kleptokrasi dalam sistem demonkrasi yang tengah berlangsung saat ini. Suatu keadaan yang sejak awal telah diwaspadai oleh Soekarno tentang bahayanya praktek demokrasi liberal ala barat seperti yang terungkap dalam pidatonya di Sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945.

Soekarno dengan tegas mengatakan, “Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politieke economische demokratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial!” Permusyawaratan yang mensyaratkan adanya demokrasi politik yang memberikan kesamaan hak politik. Yang tak kalah penting juga demokrasi ekonomi yang memberikan kesamaan hak ekonomi guna untuk dapat menjamin terselenggaranya dua prinsip : politiekerechtvaardigheid dan socialerechtvaardigheid, keadilan politik dan keadilan sosial.

Kesamaan hak politik yang tidak diimbangi oleh kesamaan hak ekonomi, hanya akan memberi ruang bagi lahirnya penindasan dan penjajahan oleh kaum pemilik modal (kapital) sebagai pemilik kekuasaan politik terhadap rakyat yang tak lebih hanya menjadi obyek politik dan obyek ekonomi. Maka jika saat ini muncul fenomena mahalnya ongkos politik, ingat saja akan satu pepatah, “menepuk air didulang, terpercik ke muka sendiri!” Siapa yang menabur angin, ia pula yang menuai badai. Astargfirullahal Adhiem.

Akhirnya, kita hanya bisa berharap pada Pemerintahan Prabowo - Gibran, kondisi ini bisa segera diantisipasi dan dicarikan solusi yang jitu untuk dapat menjadikan Indonesia, negeri terpuji dan bermartabat. Insya Alla.


Sagoe Atjeh Rayeuk, 03 Desember 2024.

0/Post a Comment/Comments