PILKADA SERENTAK 2024, BUKAN UNTUK MENGHASILKAN PEMIMPIN DAN ELITE POLITIK, YANG IMAN PERJUANGANNYA “MATI SURI”

Oleh :
T.M. Jamil
Associate Profesor, pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh.

BARU-BARU INI ada sekelompok aktivis ’98 dan adik-adik mahasiswa dari berbagai organisasi kemasyarakatan, meminta saya untuk menjadi salah satu pembicara atau teman Sharing di sebuah forum diskusi dalam rangka refleksi memperingati Dua dekade umur dari Gerakan Reformasi. Para pembicara yang diminta mengisi acara adalah mereka yang semasa gerakan Reformasi, terlibat cukup aktif (termasuk saya waktu itu), sedikitnya mengamati, mungkin saya termasuk dalam kategori aktivis dan pengamat. Pilihan tema-nya cukup sensasional dan membuat saya merenung ; "Reformasi Total atau Gagal Total". Pertanyaannya yang mengemuka adalah : pernah adakah Reformasi Total? Karena seingat saya terminologi ini yang digunakan oleh salah seorang teman dekat saya pada saat dia menyiapkan pidato politik seorang ketua umum partai yang saat itu sangat disorot setiap gerak dan langkah politiknya oleh rezim Orde Baru Soeharto. 

Advertising 

Terminologi REFORMASI TOTAL sebenarnya sebuah pensiasatan untuk menggantikan kata REVOLUSI yang saat itu menjadi kata tabu atau "haram" untuk diucapkan. Karena siapa pun yang menggunakan kata Revolusi sebagai ajakan melakukan gerakan perubahan, dipastikan seketika akan dibrangus oleh ‘oknum berbaju loreng’ yang saat itu menjadi alat politik penguasa Orba. Diakui atau tidak itulah realitas yang terlihat pada waktu itu.

Kata Revolusi, oleh para murid Bung Karno, dipahami sebagai gerakan menjebol yang lama sampai ke akar-akarnya, dan digantikan dengan yang sama sekali baru. Digambarkan sebagai menjebol nilai-nilai dan kekuasan kolonial-kaum penjajah, yang digantikan dengan kemerdekaan-daulat rakyat berikut nilai-nilai kerakyatan yang progresif revolusioner. Wajarlah bila kata ‘Revolusi’ dijadikan momok yang sangat menakutkan dan ditabukan dan diharamkan oleh rezim Orde Baru.

Agar makna dan maksud dari apa yang terkandung dalam kata Revolusi mendekati makna dan tujuan sebagaimana ajaran Pemimpin Besar Revolusi, maka penambahan kata TOTAL, diharapkan akan dapat mengantar pemahaman dimaksud. Mengingat kata reform menurut kamus Webster yang pernah saya baca saat studi lanjut, hanya sebatas pengertian; merubah atau memperbaiki format atau kondisi yang ada menjadi lebih baik, dengan cara membuang berbagai kesalahan dan penyalahgunaan yang merusak format.  

Dengan rujukan ini, kata REFORMASI tidak sepenuhnya memenuhi keinginan dan tuntutan REVOLUSI sebagaimana ajaran Bapak Proklamator. Maka menambahkan kata TOTAL dibelakang kata REFORMASI, dipandang perlu dan menjadi keharusan. Sebagai upaya membuka pintu yang pada saatnya nanti dapat mengantarkan rakyat Indonesia mencanangkan REVOLUSI sebagaimana cita-cita dan tujuan perjuangan politik yang diharapkan. Tapi Mungkinkah? Waallahu ‘Aklam.

Andai menumbangkan rezim Orde Baru berhasil dilakukan oleh para mahasiswa, tokoh dan masyarakat yang memiliki idealisme yang tinggi ssaat itu, tujuan menempatkan daulat rakyat yang progresif revolusioner sebagai panglima, pasti dan seharusnya mereka canangkan dan wujudkan. Tentu dengan pula menolak diktaktor mayoritas maupun tirani minoritas. Secara tegas kita pun menolak paham liberalisme, sehingga pilihan sistem politik liberal dan sistem ekonomi yang liberal kapitalistik, sama sekali tidak kita inginkan.

Yang telah dilakukan saat itu adalah perjuangan untuk mewujudkan masyarakat sebagaimana cita-cita Sosialisme ala Indonesia. secara benar Dipahami sebagai Marhaenisme dalam praktek, yang menempatkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum dalam menata dan mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Hingga masyarakat yang sama rasa dan sama bahagia dapat diwujudkan dalam realitas. 

Sayangnya, keberhasilan menumbangkan rezim Orde Baru, bukan semata hasil perjuangan partai yang kebetulan digunakan sebagai kendaraan politik saat itu oleh tokoh reformis atau gerakan mahasiswa. Tumbangnya Orde Baru dihasilkan oleh gerakan seluruh elemen masyarakat bangsa Indonesia yang sudah jenuh dan muak terhadap represivisme rezim otoriter Orde Baru. Dan pada saat gerakan menumbangkan Orde Baru hampir mencapai titik kemenangannya, terminologi REFORMASI minus kata TOTAL muncul secara masif dan membahana.

Ketika Presiden Soeharto lengser keprabon (20 Mei 1998) dengan menyerahkan tongkat estafet kekuasaan kepada BJ Habibie, ternyata semua elemen berikut para pimpinan kelompok yang mengklaim dirinya sebagai barisan yang progresif revolusioner, pun bersepakat menerima penyerahan tongkat estafet ini dengan penuh suka cita. Pada saat itulah, saya pribadi dengan segelintir teman-teman yang terpana melihat ‘sirkus politik ini’, telah memprediksi dan menyimpulkan … Gerakan Reformasi Total, tidak akan pernah ada. Entahlah… Mari renungkan pula untuk saat ini.

Karena pada perjalanan berikutnya, cita-cita perjuangan memenangkan terwujudnya Reformasi Total, ditikam dari belakang oleh ‘orangtua’nya sendiri, yakni; para pemimpin dan elite politik yang iman perjuangannya lemah dan tidak berdasar serta tidak berpijak pada cita-cita Revolusi Indonesia dalam bingkai Ideologi kerakyatan yang mendasarinya. Mereka bicara global, padahal prilakunya lokal. Maka jadilah Indonesia yang kita rasakan seperti hari ini. Hasil dari sebuah pengkhianatan oknum para elite dan para pemimpin, yang dengan bangga memberi lebel dirinya sebagai pemimpin gerakan Reformasi dan, kita berharap serta berdo'a Semoga mereka Yang Menang dalam Pilkada Serentak 2024 Bukanlah Pemimpin Reformasi yang sedang “Mati Suri”. Insya Allah. Mari Kita tunggu aksinya untuk Indonesia dan Aceh lebih baik.

Banda Aceh, 12 Desember 2024.

0/Post a Comment/Comments