By, TM. Jamil, Dr, Drs, M.Si
Associate Profesor pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh
BAGI KITA atau Mahasiswa yang pernah dan/atau sedang belajar dan mengikuti mata kuliah metodelogi penelitian, pastinya mereka sangat mengerti dan paham tentang apa yang kita sebut dengan quick count itu. Sebagai sebuah metode penelitian untuk menghitung hasil cepat, tentu di samping memiliki sejumlah kelebihan, terdapat pula sejumlah kelemahan atau bahkan kesalahan. Setidaknya, menurut saya ada tiga kesalahan yang mungkin saja terjadi. Oleh karena itu, tidaklah aneh jika hasil qiuck count berbeda dengan hasil perhitungan manual. Maka sebagai sebuah metode, mari kita terima sebagai sebuah keniscayaan. Jangan pernah kita menganggap metode itu sebagai “Tuhan” yang tak pernah salah.
Nah, Pilkada Serentak, khususnya Aceh telah berlalu, Rupa-rupanya masih banyak diskusi dan perdebatan di Warkop, dan Sosmed seperti FB, IG dan GWA mengenai hasil quick count belum juga selesai, termasuk malam ini ketika saya tadi ngopi bareng dengan teman-teman. Masih terdengar mereka yang duduk dekat meja kami ngopi – mereka masih berdebat tentang jagonya dalam Pilkada yang baru saja selesai. Lebih parah lagi antar lembaga quick count tersebut saling menuduh bahwa lembaga quick count sebelah sana tidak memenuhi kaidah statistik, sementara kelompok yang satunya menuduh bahwa lembaga quick count sebelah sini telah memihak salah satu pasangan calon. Sungguh terlalu, jika ada tuduhan semacam itu.
Saya sebagai orang yang memiliki latar belakang sedikit statistik dan mengajar metodologi penelitian perlu untuk sekali lagi meluruskan pandangan yang kurang tepat tersebut. Masyarakat jangan sampai mempersepsikan bahwa statistik adalah ilmu pasti dan hasilnya harus satu angka. Ingat, statistik berbeda dengan matematik. Matematik hasilnya adalah sebuah kepastian. Sementara statistik berbicara error atau tingkat kesalahan. Jadi hasilnya mungkin dan ‘boleh’ saja berbeda. Ini prinsip dasar yang perlu dipahami. Ingat, Statistik berbeda dengan matematik! Mengingat Quick Count ini menggunakan metode statistik. Maka setidaknya quick count tidak terlepas dari 3 masalah error yaitu margin error, random error dan sistematic error. Mari ikuti pembahasan berikut ini :
Pertama, Margin of Error. Margin of error adalah error yang paling populer di berbagai lembaga quick count. Margin error adalah tingkat kesalahan sampel atas populasi yang ditentukan oleh peneliti sebelum melakukan penelitian. Karena margin error ini adalah tingkat kesalahan sampel atas populasi maka margin of error akan mengkoreksi besaran sampel. Jika kita membuka text book statistika, maka akan ada sebuah rumus perhitungan sampel dimana untuk mendapatkan sampel tertentu maka peneliti harus menentukan terlebih dahulu berapa margin of error-nya. Margin of error semakin kecil maka jumlah sampel akan semakin besar. Dengan semakin besar sampel diharapkan (tetapi tidak menjamin) hasilnya akan mendekati kenyataan (populasi). Sebagai Contoh, Beberapa lembaga survei pada pilpres Pebruari 2024 yang lalu menentukan margin of error rentang 0.5% sampai dengan 2%. Saya coba hitung, dengan asumsi populasi TPS sebanyak 479 ribuan lebih, maka sampel TPS yang akan terambil adalah 36 ribuan sampel TPS untuk margin of error 0.5%, sekitar 9 ribuan sampel TPS untuk margin error 1%, dan 2 ribuan sampel TPS untuk margin of error 2%. Apakah ketika margin of error-nya lebih rendah maka satu quick count akan lebih akurat hasilnya dibandingkan yang lain? Jawabannya adalah belum tentu. Margin error yang lebih kecil hanya akan berimplikasi terhadap sampel yang lebih besar, jika tidak mengontrol kedua error yang lainnya. Kalau pun yang diadu adalah margin of error, maka yang pasti pemenangnya adalah hasil KPU/KIP mengingat margin of error-nya 0,0000 (nol) persen. Maka menurut saya, real count-lah yang pantas untuk dijadikan ukuran sebuah kemenangan.
Kedua, Random Error. Error kedua, Random error, adalah peluang kesalahan yang mungkin terjadi akibat proses randomisasi sampel TPS. Ingat, bahwa quick count adalah proses penyimpulan hasil pemilu/pilkada berdasarkan sebagian sampel TPS, bukan keseluruhan TPS. Kita semua perlu tahu bahwa metode pengambilan sampel TPS pada quick count adalah secara proporsional sampel TPS terhadap populasi TPS wilayah yang diturunkan mulai dari pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan sampai kelurahan. Setiap lembaga survei harusnya sama dalam menentukan proporsi sampel TPS terhadap populasi TPS pada masing-masing wilayah.
Nah apa yang berbeda? Yang berbeda adalah TPS mana dalam satu wilayah yang dijadikan sampel. Lembaga survei A kemungkinan berbeda dengan lembaga survei B dalam menentukan TPS mana yang dijadikan sampel. Perlu kita tahu, quick count menggunakan teknik sampling multistage sampling. Katakanlah stage terakhir yang digunakan adalah kecamatan, pertanyaannya adalah siapa yang menjamin bahwa TPS-TPS yang dijadikan sampel dalam satu kecamatan telah representatif terhadap basis pendukung kedua pasangan? Jika tidak artinya ada TPS dengan dengan jumlah basis pendukung nomor satu atau nomor dua yang lebih banyak tidak terambil. Jika stage terakhir adalah desa/kelurahan, artinya harus ada sampel TPS perwakilan dari 78.609 desa/kelurahan yang ada di seluruh Indonesia. Sebagai contoh, padahal jumlah keseluruhan sampel TPS di quick count ini saja hanya 36 ribuan TPS, itupun jika menggunakan margin of error 0,5%. Artinya masih banyak desa/kelurahan yang tidak terwakili sebagai sampel. Bisa jadi desa-desa tersebut adalah basis pendukung salah satu kadidat, bukan? Apalagi di tengah dinamika basis pendukung Pilpres 2024, Ya termasuk juga Pilkada Aceh 2024 ini yang sangat berbeda dibandingkan pilpres atau pilkada sebelumnya. Sangat sulit mengukur tingkat representasi hasil quick count.
Oleh karena itu, sebaiknya saya menyarankan kepada kita semua untuk bisa bersabar. Janganlah terlalu terburu-buru untuk mengklaim, kelompok kitalah yang menang. Kondisi ini sungguh sangat berbahaya untuk sebuah persatuan dan ukhwah, jika ternyata yang merasa dirinya menang, justru saat diumumkan oleh pihak yang resmi dan dipercayakan untuk itu, hasilnya Kalah. Sikap santun inilah yang kita perlukan dari para pasangan calon peserta Pilkada Aceh Serentak 2024. Jadi, tak perlulah harus cepat-cepat membuat acara syukuran yang berlebihan. Jangan sampai mendahului ketentuan Allah. Ingat, kemenangan itu memang milik kita atas usaha dan kerja keras yang telah kita lakukan, tetapi Allah Swt yang menentukan.
Ketiga, Systematic Error. Masih ada satu error lagi, dan error ini tidak bisa dikendalikan secara statistik yaitu sistematic error. Sistematic error disebabkan oleh unsur-unsur subjektivitas. Pengambilan sampel TPS yang tendensius merupakan salah satu penyebab systematic error. Oleh karena itu, salah satu kritik kepada lembaga-lembaga survei, harusnya ada satu kode etik yang mengatur bahwa penyelenggara quick count adalah bukan bagian dari tim sukses atau tidak pernah menyatakan memihak kepada salah satu pasangan.
Ketidaknetralan penyelenggara quick count dapat menjadi penyebab systematic error. Oleh karena quick count ini memungkinkan dan membolehkan hasil yang berbeda, maka marilah kita memandang hasil quick count ini dengan proporsional dan tidak lebay. Jika ada salah satu direktur eksekutif penyelenggara quick count yang menyatakan bahwa jika hasil KPU/KIP berbeda dengan hasil quick count maka KPU atau KIP? KPU atau KIP-lah yang salah, jika begini, saya kira sudah salah kaprah dan pembodohan. Quick count adalah sebagian sampel TPS bukan populasi TPS. Ingat bahwa kaidah yang digunakan adalah ilmu statistik bukan matematik. Memungkinkan banyak error di sana. Jika mau menilai kecurangan KPU/KIP buktikan saja di mana kecurangannya, berapa jumlah suara yang dicurangi, bukan dengan hasil quick count! Marilah kita kawal bersama-sama proses real count KPU/KIP, Bukan ramai debat di quick count, dan hanya membodohkan rakyat. Padahal rakyat kita semakin cerdas. Nah, bagaimana pula dengan Hasil Quick Count Pilkada Aceh 2024? Wallahu ‘Aklam. Mari Kita Tunggu dan Sabar Saja. Semua itu akan indah pada waktunya.
Kota Madani, 28 November 2024
Posting Komentar