Menengok Sistem Agroforestri dan Upaya Pelestarian Lingkungan di Desa Wanga, Minahasa Selatan

Seorang petani sedang membajak lahan pertanian menggunakan dua ekor sapi.
Foto: Md. Mehedi Hasan di Pixabay.

"Di Desa Wanga, Kabupaten Minahasa Selatan, masyarakat setempat menerapkan berbagai sistem agroforestri tradisional yang berkontribusi positif terhadap upaya pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat."

KABEREH NEWS | Masyarakat lokal di berbagai daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun dan menjadi pedoman dalam mengatur kehidupan secara bijaksana. 

Seringkali, kearifan lokal yang ada selaras dengan cara kerja alam sehingga secara tidak langsung berkontribusi terhadap upaya pelestarian lingkungan dan keanekaragaman hayati. 

Di Desa Wanga, Kabupaten Minahasa Selatan, masyarakat setempat menerapkan berbagai sistem agroforestri tradisional yang berkontribusi positif terhadap upaya pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Advertising 

Peran Kearifan Lokal 
Indonesia menghadapi berbagai masalah serius terkait lingkungan hidup, seperti perubahan iklim, deforestasi dan degradasi hutan, polusi, hingga ancaman kelangkaan air bersih. 

Semua masalah tersebut sejatinya telah lama dicoba dicegah oleh masyarakat lokal dan masyarakat adat di berbagai daerah dengan kearifan lokal yang ada.

Kearifan lokal di banyak daerah di Indonesia memiliki keterkaitan yang erat dengan upaya pelestarian lingkungan yang secara tidak langsung berdampak terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. 

Mulai dari cara memperlakukan lingkungan alam hingga memanfaatkan apa-apa yang ada di alam, kearifan lokal menyediakan pedoman berharga yang penting dan selaras dengan metode konservasi modern.

Masyarakat Suku Kajang, misalnya, hidup dalam kesederhanaan dan mengelola sumber daya alam di hutan secara bijak untuk menjaga keseimbangan ekologisnya. 

Selain itu, ada juga komunitas adat Suku Baineo di Nusa Tenggara Timur, yang dikenal dengan tradisi Lilifuk yang berperan dalam menjaga ekosistem terumbu karang.

Sementara itu, warga di Desa Tahawa, Kabupaten Pulang Pisau, memilih hidup berdampingan dengan berbagai satwa liar yang ada di hutan mereka. 

Selain dikenal “ramah satwa”, desa tersebut juga menjadi objek penelitian bagi para peneliti, dan secara perlahan membuka peluang ekonomi bagi warga setempat.

Namun ada juga kearifan lokal yang berada di ambang kepunahan, seperti tradisi Seke-Maneke di Kabupaten Kepulauan Sangihe. Lunturnya tradisi tersebut berdampak pada lingkungan, sosial,dan ekonomi masyarakat setempat.

Agroforestri di Desa Wanga
Desa Wanga terletak di wilayah Kecamatan Motoling Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Sebuah penelitian mengungkap bahwa masyarakat lokal di desa ini telah menerapkan empat sistem agroforestri dengan pola beragam dan telah dilakukan secara turun-temurun, yakni:

Agrisilvikultur, yakni sistem yang menggabungkan tanaman pertanian dan kehutanan pada satu lahan. Masyarakat Desa Wanga mengkombinasikan berbagai jenis tanaman berdasarkan manfaat sesuai kebutuhannya, seperti tanaman pangan, rempah, dan kayu.

Agrosilvofishery, yakni sistem pengelolaan lahan yang menggabungkan perikanan, kehutanan, dan tanaman pertanian. Masyarakat Desa Wanga menanam pohon dan tanaman di sekitar tambak untuk membantu menjaga kualitas air, mengatur aliran air, dan mencegah erosi. Berbagai jenis tanaman dan ikan yang dibudidayakan adalah ikan nila, mujair dan ikan mas.

Agrosilvopastura, yakni sistem pengelolaan lahan yang menggabungkan ternak, tanaman berkayu, dan tanaman tahunan dalam satu area. Sebagai contoh, masyarakat Desa Wanga memelihara babi dan memberikan pakan dari pepaya matang serta talas yang sudah ditanam di lahan yang tersedia.

Agroforestri pekarangan, yakni sistem pengelolaan lahan pekarangan rumah tangga dengan keanekaragaman tanaman yang terdiri dari berbagai jenis umbi-umbian, sayur-sayuran, buah-buahan, rempah-rempah, kayu-kayuan, dan tanaman hias. 

Selain itu, masyarakat Desa Wanga juga memiliki corak kearifan lokal yang diterapkan oleh para petani dalam sistem agroforestri, antara lain:

Mapalus atau Maendo. Mapalus adalah semacam kegiatan sosial serupa gotong royong dalam pengolahan lahan.

Pengamatan bulan. Masyarakat setempat mengamati bulan untuk hal-hal yang berkaitan dengan larangan dan anjuran waktu yang tepat untuk melakukan kegiatan pertanian, seperti menanam, merawat, dan memanen.

Toki Bulu. Toki Bulu yang berarti “mengetuk bulu” adalah tradisi yang dilakukan masyarakat setempat saat akan memberi makan ikan di lahan agrosilvofishery. 

Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa potensi lahan agroforestri menyimpan lebih banyak karbon daripada semak belukar dan pertanian monokultur. 

Sistem agroforestri di Desa Wanga telah memberikan manfaat ganda bagi petani, lingkungan dan masyarakat, mulai dari pemenuhan gizi kesehatan hingga menjadi sumber pendapatan secara ekonomi.  

Memperluas Ruang Kearifan Lokal
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan beberapa asas, salah satunya adalah asas kearifan lokal. 

Asas ini dilakukan dengan memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, sehingga masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan konservasi. 

Untuk itu, kearifan lokal perlu dilestarikan dan diperluas penerapannya untuk mendukung upaya pelestarian alam. Sinergi dan kolaborasi antara pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil sangat penting untuk mendukung langkah ini.



Sumber artikel/Green Network

0/Post a Comment/Comments