KETIKA AKU MULAI MASUK SEKOLAH : SEBUAH PENGALAMAN HIDUP

ENTAH MENGAPA AIRMATAKU selalu mengambang dan mengalir, tak mampu terbendung setiap kali aku mendengar atau menyanyikan lagu yang berjudul : “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”, Ciptaan Sartono. Inilah lirik lagunya.
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru … Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku… Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku Sebagai prasasti, terima kasihku untuk pengabdianmu … Engkau sabagai pelita dalam kegelapan, Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan, Engkau patriot pahlawan bangsa Tanpa tanda jasa…

================================================

TULISAN INI diilhami dari proses proses politik yang sedang berlangsung saat ini, yaitu test baca al qur'an untuk Calon Kepala Daerah dalam Pilkada Aceh 2024. Semoga semua itu bermanfaat untuk kita sebagai hambaNya yang rendah hati untuk mendapatkan derajat yang tinggi dari Allah sebagai pemilik kekuasaan yang sesungguhnya. Allahu Akbar.

DI MASA KECIL, aku sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di sebuah Kemukiman tempat kelahiranku, salah satu sekolah di bawah naungan Departemen Agama (waktu itu). Sehingga aku Alhamdulillah, masih bisa jadi imam shalat dan khatib jika dibutuhkan, meski seringkali saya menolaknya. Ya Sekolah tersebut berkualitas yang lumayan mahal (untuk kondisi ekonomi orangtuaku saat itu), tapi sekolah selalu memberi kemudahan dan keringanan bagi murid-murud yang tak mampu. Dan itulah yang kurasakan sampai saat ini. Guru-guru di MIN tersebut mengajar dengan cinta dan penuh kasih sayang. Mereka mengajar dan mendidik kami seperti mereka mendidik anak kandungnya sendiri. Ketika ada murid yang bandel, mereka menasihati dari hati ke hati tanpa menyinggung perasaan dan harga diri. Sehingga jiwaku semakin kuat sampai kini, meski aku sering dihina, difitnah dan dizhalimi. Karena cara mendidik seperti itu Membuat kita sebagai murid malu mengulang lagi kesalahannya. Tak pernah ada kekerasan di lingkungan sekolah tersebut. Sungguh sangatlah berbeda dengan apa yang sering terjadi belakangan ini di zaman yang serba modern dan gila ini. Wallahu ‘aklam Bissawab.

Masih ku-ingat, kepala sekolahku saat itu, bernama M. Yusuf Rasyid, kami sebagai murid dan guru-guru lain seperti Pak Diah, Pak Thaib, Pak Nuh, Pak Ali, Ibu Khadijah, Ibu Latifah, Ibu Hafsah, dan masih ada beberapa guru lain yang saya lupa namanya, karena mereka yang lain tidak pernah masuk mengajar di kelasku.

Mereka semua itu seperti orang tua kami sendiri. Ketika sekolah di sana, saya tak pernah merasa dibedakan, walau penampilanku saat itu sangat sederhana. Maklumlah, saya anak seorang petani yang sangat miskin. Baju seragam Putih dan Hijau hanya satu, harus saya pakai setiap hari, dari Hari Selasa sampai Sabtu.

Jika terlihat agak kotor, pulang sekolah saya cuci sendiri untuk bisa dipakai lagi esok pagi. Sedang seragam Putih-Putih hanya untuk hari Senin pada saat upacara bendera. Baju itupun hadiah Kakek (Nekpon) dan sangat kedodoran karena kebesaran. Pak Yusuf Rasyid adalah, Kepala Sekolah, guru dan wali kelas yang amat istimewa di mataku. Kami para murid memanggilnya “Pak Yusra”. Berkulit Putih, berdahi lebar, rambut tipis dan senyum selalu menghiasi wajahnya beliau ketika mengajar.

Namun, kami semua sangat segan dan hormat padanya. Beliau sangat berwibawa, dan santun, padahal beliau mengajarnya penuh dengan cerita-cerita dan diselingi dengan humor-humor segar. Bukan hanya murid yang segan padanya, bahkan orangtua murid sangat menghormatinya. Pokoknya, kami sangat kagum dan hormat padanya. Sungguh, beliau sangat berhati mulia.

Ada Kisah tak terlupakan yang membuat aku menulis tentang beliau di hari ulang tahun Persatuan Guru Indonesia (PGRI), 25 November 2011 yang lalu (tulisan tersebut saya publish kembali dalam media ini, semoga bisa dinikmati oleh sahabat-sahabat dan adik-adikku, “generasi pelurus” bangsa). Sengaja aku tulis dengan huruf miring kata-kata pelurus, bukan penerus. Karena bangsa ini membutuhkan orang-orang yang lurus dan jujur dalam kata dan perbuatan. Insya Allah, bangsa ini akan jaya dalam Ridha Allah.

WAKTU ITU, sudah Lima bulan aku menunggak uang sekolah, tapi “Pak Yusra” tak pernah menegurku di depan murid-murid lain. Beliau menanyakan langsung padaku setelah murid-murid lain pulang. Alasanku selalu sama, uang sekolah belum ada. Saat itu menjelang ujian akhir, tentu semua murid harus melunasi uang sekolah yang tertunggak dan membayar uang ujian. Hari keempat menjelang ujian akhir, Pak Yusra memanggilku, sekolah sudah sepi.

Aku duduk dengan gugup karena sudah tahu apa yang akan ditanyakan oleh beliau. “Teuku (begitu nama sapaanku waktu itu), sebentar lagi ujian, kamu sudah siap untuk mengikutinya? Maksud Bapak, apakah kamu sudah belajar?”, tanya beliau sambil tersenyum. Aku tertunduk malu, sambil mengangguk. Lalu beliau melanjutkan. “Maaf, Bapak ingin bertanya sedikit tentang kamu. Seperti kamu ketahui, sudah lima bulan kamu menunggak uang sekolah, sedang sebentar lagi ujian. Sebenarnya ada masalah apa, Teuku?”.

Aku hanya menjawab, uangnya belum ada. Tiba tiba Pak Yusra memandangku dengan sorot mata sedih dan pertanyaan beliau benar benar menghujam hatiku. “Teuku, orang tuamu dimana? dan sebenarnya kamu tinggal sama siapa?” tanya Pak Yusra dengan sangat hati-hati. Mungkin beliau melihat didaftar data murid bahwa di situ tertulis wali (waktu itu), bukan nama orang tuaku. Sekejap saja, air mataku menetes lalu aku menangis terisak isak.

Ayah, Ibu dan adik-adikku masih tinggal di Gunung atau di Ladang Pak. Jawabku. Mareka masih bertani di sana. Sedangkan aku dititipkan pada rumah Kakek di kampung untuk bisa sekolah dulu. Itu sejak aku mulai masuk sekolah Tahun 1970. Hatiku amat sedih setiap ada orang yang bertanya di mana kedua orang tuaku.

Alhamdulillah, nanti setelah aku tamat MIN, ayah, ibu dan adik-adik akan pulang ke desa dan membangun rumah di sini. Sekarang mereka lagi menanam padi, cabe, jagung, jahe, kopi dan tembakau untuk dijual buat biaya pulang ke desa Pak. Jawabku.

Kuceritakan semua itu pada guruku. “Maafkan Bapak, Teuku, karena pertanyaan Bapak tadi telah membuatmu sedih dan menangis. Tapi yakinlah anakku, Allah Swt selalu bersama Hamba-Nya yang sabar dan ikhlas dalam menjalani hidup ini. 

Ingatlah, kisah baginda Rasulullah Muhammad SAW, kekasih Allah juga pernah mengalami nasib seperti kita, senantiasa dirundung dengan duka dan kesedihan. Namun semua itu beliau terima dengan wajah keceriaan dan hati yang tulus. Semoga kamu juga kuat, Teuku. Berdo’alah anakku, Insya Allah kelak kamu akan menjadi insan terpuji, mulia dalam pandangan Allah, dan dihormati oleh ummat”. Sekarang hapuskan airmatamu. Itulah kata-kata Pak Yusra, yang masih aku ingat sampai saat ini.

LALU, beliau melanjutkan kata-katanya :”Teuku, hari ini, bapak akan membicarakan masalahmu dengan guru-guru lain, jika beliau tak bisa memberikan keringanan, maka bapak yang akan membayar semua tunggakan uang sekolah dan uang ujian kamu.” ujar beliau sambil menatapku penuh haru.

Aku hanya bisa ucapkan terima kasih Pak, sambil membungkukkan badan, rasanya sangat ingin memeluk beliau tapi aku tidak berani, takut dipikir itu tak sopan. Esoknya Pak Yusra, Guru dan juga Kepala Sekolahku memanggil dan aku dibebaskan dari semua tunggakan uang sekolah, sedangkan salah seorang guru lain membayar uang ujianku.

TAHUN 2005 Yang lalu, saat itu aku berada di Pulau Jawa untuk Melanjutkan Studi Doktor, Aku pernah mengirimkan sebuah surat ke sekolah MIN, tempat aku sekolah dulu dan menulis kisah tentang ‘Pak Yusra di Mataku’. Tak kusangka suratku masuk dan sampai juga ke tangan Pak Yusra (waktu itu beliau sudah pensiun).

Beberapa tahun kemudian, Ketika pulang kampung, aku mendapat undangan makan siang dari salah seorang guru yaitu Pak Ali. Ada beberapa alumni juga yang datang dari Jakarta, Padang, Medan, Kutaraja, dan lain-lain. Ketika kami semua sudah berkumpul, aku heran mengapa makan siang belum juga dimulai. Ternyata aku mendapat kejutan dari guru-guruku.

Tiba- tiba guru tercinta “Pak Yusra” hadir paling akhir membuat aku tak mampu bicara. Airmataku menetes dan aku peluk beliau sambil ku-ucapkan terima kasih Pak dan aku duduk tepat di sebelah beliau. Kami bicara lama sekali dan ditempat itulah pertemuan pertamaku dan beberapa kali lagi dengan beliau saat-saat aku pulang kampung, setelah aku tak lagi menjadi muridnya. Pak Yusra, tepatnya tahun 2013 yang lalu beliau telah dipanggil Allah untuk menghadap-Nya, semoga Allah Swt mengampuni semua dosa-dosanya, dan ditempatkan beliau di dalam Surga Jannatun Naim. Amin3x, Ya Rabbal Alamin.

Terima kasih untuk semua guru-guru yang pernah mengajarku di MIN tempat aku menuntut ilmu dan tempat aku mulai mengenal angka dan huruf. Bagiku tak pernah ada kata “mantan guru”. Sampai kapanpun beliau tetap guruku. Guru yang pantas kuhormati dan kudo’akan selamanya.

Khusus untuk Pak Yusra, guru favoritku yang sederhana, baik hati dan penuh cinta, “Bapak akan selalu menjadi guru di hatiku”. Kini muridmu yang bodoh, kotor dan sangat miskin, Alhamdulilah kini telah telah menjadi seorang Doktor (Maha Guru) sesuai dengan nasehat dan do’amu waktu itu.

Masih terngiang-ngiang ditelingaku, kata-katamu waktu itu, “Anak-anakku yang tampan dan cantik-cantik, belajar dan berdo’alah pada Allah Swt, masa depanmu sesuai dengan perjuangan dan kerja kerasmu. Hari ini kamu, mungkin bukanlah orang penting, tapi untuk menjadi “orang penting” selalu terbuka bagi siapa saja dan orang-orang yang bersungguh-sungguh”. Subhanallah … Berikut ini terimalah sebuah Puisi untukmu Guru yang telah mendidik dan membimbingku selama ini. Semoga kebahagiaan kami, juga merupakan kebahagiaan bagimu wahai guru-guruku tercinta.

SEBUAH “CINTA” UNTUKMU GURUKU :
Mentari Berganti Rembulan,
Senja Bergulir Malam
Kau Masih Saja Bekerja Selarut Malam,
Kau Tak Peduli…Betapa Lelah Dirimu, Hatimu
Tapi… Kau Tetap Mengabdi

Lihatlah …
Seharian Kau Telah Diminta Menjadi
Teman Bagi Kami …
Menjadi Pencari Barang Hilang Kami
Menjadi Psikolog Kami …
Bahkan Menjadi Pengganti Ayah dan Bunda Kami

Birunya Langit Hari Ini Mengajari Kami Akan Suatu Hal, Tulusnya Cintamu Kepada Kami
Hanya Kata-kata Ini Yang Bisa Kami Beri Untukmu
Guru, “Maafkan Semua Kesalahan Kami Padamu Dan Terima Kasih Untuk Cintamu PadaKu …”.

Guruku Yang Sangat Mulia, Maafkanlah segala dosa dan kesalahanku kepadamu di saat aku masih menjadi muridmu. Semoga kiprah, cita-cita dan perjuangan sucimu dapat dilanjutkan oleh anak-anak didikmu. Yaa Allah, Yaa Tuhanku, ampunilah semua dosa guru-guruku dan jadikanlah seluruh kisah perjuangannya di masa lalu dan masa depan sebagai amal jariyah yang dapat memudahkan beliau untuk masuk ke dalam Surga-MU. Amin3x, Yaa Rabbal Alamin. 
(Salam Takzim, Dari Mantan Muridmu, “Teuku”).

0/Post a Comment/Comments