Awas Bahaya Buzzer Politik Mengancam: Pahami Ciri, Cara Kerja Serta Dampaknya

BUZZER di media sosial beroperasi dengan menciptakan dan mendistribusikan konten masif di platform seperti Twitter, Facebook, dan Instagram. Biasanya, konten ini dimaksudkan untuk memengaruhi persepsi publik, sering kali dengan cara manipulatif. 

Mengapa buzzer menjadi fenomena besar? Bukan hanya soal politik, tetapi juga pemasaran produk dan kampanye sosial. Namun, saat buzzer digunakan untuk menyebarkan disinformasi, dampaknya sangat destruktif.

Dalam konteks politik, buzzer sering digunakan untuk memengaruhi opini publik secara masif. Mereka bekerja dalam jaringan terorganisir, menyebarkan pesan tertentu melalui banyak akun palsu atau anonim secara bersamaan. Strategi ini menciptakan ilusi bahwa pesan tersebut didukung oleh banyak orang, meskipun sebenarnya dukungan itu hanyalah rekayasa.

Sebagai contoh nyata, pemilu 2019 di Indonesia menjadi ajang penggunaan buzzer yang masif. Saat itu, buzzer digunakan untuk menyebarkan disinformasi yang memperburuk polarisasi politik. Dampaknya, masyarakat terbelah ke dalam dua kubu besar yang saling berseberangan, dan diskusi politik yang sehat menjadi sulit ditemukan. Disinformasi yang disebar buzzer juga memperkeruh suasana dan memperparah ketegangan sosial

IKLAN

Strategi Kerja Buzzer
Buzzer biasanya bekerja dengan beberapa taktik utama:

- Konten yang Emosional atau Provokatif: Konten yang mereka bagikan sering kali didesain untuk memicu reaksi emosional. Tujuannya adalah agar konten ini dibagikan secara luas dan viral. Misalnya, pada kasus Pilkada DKI Jakarta 2017, buzzer memanfaatkan isu agama untuk memecah belah masyarakat.

- Manipulasi Trending Topic: Buzzer menggunakan hashtag yang dibuat sedemikian rupa sehingga dapat menjadi tren di media sosial. Dengan ini, pesan mereka menjadi lebih terlihat oleh publik.

- Penggunaan Akun Palsu atau Anonim: Ini adalah cara umum bagi buzzer untuk menciptakan ilusi dukungan massal terhadap isu tertentu. Pada kasus RUU Cipta Kerja, akun-akun palsu membanjiri media sosial dengan dukungan terhadap kebijakan ini, meskipun sebenarnya banyak pihak yang menolaknya.

- Disinformasi: Salah satu strategi paling berbahaya yang digunakan buzzer adalah menyebarkan informasi yang tidak akurat atau menyesatkan. Pada kasus Ahok di 2016, buzzer memanfaatkan isu penistaan agama untuk menyebarkan kebencian dan memperkuat narasi negatif terhadap Ahok.

Berapa Penghasilan Seorang Buzzer?
Direktur Center Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto mengatakan berdasarkan informasi yng dihimpun dari 78 buzzer, mengungkap ada sebagian pendengung yang mengungkap besaran pendapatan.

"Jadi tidak semua mau menyebutkan angkanya. Jadi ada pendengung di sana perkiraanya 50-100 per akun Rp2-7 juta," ujar Wijayanto saat diskusi Pasukan Siber, Manipulasi Opini Publik dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia, Senin (1/11), di Jakarta.

Kemudian, Wijayanto mengatakan pada posisi koordinator mendapatkan pendapatan Rp5 sampai Rp15 juta per proyek penyebaran isu.

Sedangkn influencer bisa mendapat penghasilan hingga Rp20 juta, hingga mendapat posisi politis, seperti komisaris perusahaan atau mendapatkan proyek dari pemerintah.

"Koordinator 200 per akun 5-15 juta per projek. Influencer 20 juta, lalu mendapat posisi politis seperti komisaris misalnya, atau mendapatkan project dari pemerintah," tutup Wijayanto.


Dampak Negatif
Dampak negatif buzzer sangat luas, terutama dalam konteks politik dan sosial. Mereka dapat menyebarkan disinformasi secara cepat dan masif, memanipulasi opini publik, dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi. Studi kasus lain yang menunjukkan dampak ini adalah kasus kebohongan Ratna Sarumpaet di tahun 2018. Kebohongan ini awalnya menyebar luas berkat bantuan buzzer yang mempromosikan narasi bahwa Ratna dianiaya karena alasan politik. Meskipun terbukti kebohongan, dampak sosialnya sudah terjadi.

Upaya Penanggulangan
Pemerintah dan platform media sosial telah mencoba menanggulangi masalah ini dengan berbagai cara, mulai dari memperketat regulasi hingga menutup akun palsu. Facebook dan Twitter, misalnya, telah melakukan upaya untuk mendeteksi aktivitas buzzer dan bot. Namun, tantangan besar tetap ada, seperti pada masa pandemi Covid-19, di mana buzzer digunakan untuk menyebarkan informasi keliru terkait penanganan pemerintah atas krisis tersebut. Meskipun informasi resmi tersedia, banyak orang lebih percaya pada narasi yang dibawa oleh buzzer, yang akhirnya membuat proses penanganan pandemi lebih sulit.

Berikut enam contoh konkret praktik regulasi terhadap buzzer politik yang diterapkan di beberapa negara demokrasi
1. Jerman: Netzwerkdurchsetzungsgesetz (NetzDG)
Pada tahun 2017, Jerman memperkenalkan NetzDG yang menargetkan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, dan YouTube untuk menghapus konten yang melanggar hukum dalam 24 jam. NetzDG memungkinkan tindakan cepat terhadap konten disinformasi, ujaran kebencian, dan hoaks yang sering digunakan oleh buzzer politik. Meski efektif dalam menurunkan jumlah konten ilegal, kritik muncul terkait risiko sensor berlebihan, karena platform cenderung menghapus konten untuk menghindari denda yang berat (maksimal €50 juta)(Jurnal FH Unpad).

2. Uni Eropa: Digital Services Act (DSA)
Uni Eropa merancang Digital Services Act (DSA)sebagai langkah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas platform digital. DSA mewajibkan platform seperti Facebook dan Twitter untuk memberi informasi yang jelas tentang algoritma yang mereka gunakan, serta siapa yang membiayai iklan politik. Regulasi ini dirancang untuk mencegah buzzer politik memanipulasi algoritma platform demi menyebarkan konten yang menyesatkan. DSA juga berfokus pada perlindungan pengguna dari disinformasi dengan mengatur cara platform menangani laporan konten(Jurnal FH Unpad). Meski demikian, pelaksanaannya di lapangan masih menghadapi tantangan dalam hal kolaborasi antar negara anggota.

3. Prancis: Undang-Undang Pemilu 2018
Prancis menerapkan undang-undang yang melarang penyebaran informasi yang tidak akurat atau menyesatkan menjelang pemilu. Salah satu ketentuannya adalah memberi otoritas kepada badan pengawas pemilu untuk menghapus konten buzzer yang terindikasi memanipulasi opini publik. Dalam kasus pemilu Presiden 2017, banyak konten buzzer yang tersebar melalui kampanye hitam digital. Undang-undang ini membantu meredam penyebaran hoaks selama pemilu 2018, meski beberapa pihak merasa undang-undang tersebut membatasi kebebasan berbicara(Jurnal FH Unpad) .

4. Amerika Serikat: FEC (Federal Election Commission) dan Transparansi Iklan Politik
Setelah pengaruh buzzer dalam Pemilu Presiden 2016 melalui campur tangan Rusia terungkap, AS berupaya memperketat regulasi kampanye politik digital. Federal Election Commission (FEC) memperkenalkan aturan baru yang mengharuskan pengiklan politik di platform digital untuk transparan mengenai sumber pendanaan dan tujuan iklan mereka. Platform seperti Facebook juga diberi kewajiban untuk memverifikasi identitas pengiklan politik. Meskipun upaya ini dianggap sebagai langkah maju, efektivitasnya masih dipertanyakan karena keterbatasan dalam penerapan regulasi tersebut, terutama untuk akun-akun anonim(Jurnal FH Unpad).

5. Inggris: Regulasi Badan Standar Iklan (ASA)
Inggris memperkenalkan regulasi melalui Advertising Standards Authority (ASA) yang mengatur iklan politik dan kegiatan buzzer di media sosial. ASA bekerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum untuk memantau konten iklan yang menyesatkan atau tidak sesuai dengan standar kampanye etis. Regulasi ini mengurangi peluang buzzer untuk menyebarkan disinformasi selama kampanye pemilu. Namun, masih ada tantangan dalam mengidentifikasi akun buzzer yang beroperasi secara anonim dan menghindari aturan .

6. Brazil: Pengadilan Pemilu dan Regulasi Media Sosial
Brasil menerapkan regulasi ketat terhadap penggunaan media sosial selama pemilu, khususnya setelah pemilu 2018 yang diwarnai oleh disinformasi melalui WhatsApp dan buzzer. Pengadilan Pemilu Brasil melarang penyebaran berita bohong dan memberikan wewenang untuk memblokir konten atau akun yang menyebarkan hoaks. Upaya ini dipandang efektif dalam mengurangi dampak negatif buzzer, namun tantangan utama masih terkait dengan banyaknya saluran komunikasi tertutup seperti grup WhatsApp yang sulit diawasi .

Penutup
Fenomena buzzer media sosial bukan hanya tentang konten viral atau topik trending; dampaknya jauh lebih besar, terutama dalam memengaruhi opini publik dan mengubah dinamika sosial. Studi-studi kasus nyata di Indonesia menunjukkan bagaimana buzzer dapat merusak demokrasi dan memperburuk polarisasi sosial, menjadikan diskusi yang sehat hampir mustahil. Oleh karena itu, kesadaran kritis masyarakat menjadi penting dalam menghadapi fenomena buzzer, serta pentingnya regulasi yang lebih ketat untuk mengendalikan penyebaran disinformasi.

Referensi:
- Daeni, F. I. M., Rachmarani, F. A., & Rhiza, I. (2023). Pengaruh Buzzer Politik Dalam Pemilu: Tantangan Terhadap Electoral Justice Dalam Mempertahankan Prinsip Demokrasi. Padjadjaran Law Review, 11(2), 183-200.
- Castells, M. (2010). Communication power. Oxford University Press.
- Moehler, D. C. (2010). Democracy, governance, and economic performance in Sub-Saharan Africa. Journal of Democracy, 21(4), 145-161.
- Wardle, C., & Derakhshan, H. (2017). Information disorder: Toward an interdisciplinary framework for research and policymaking. Council of Europe.
- https://kumparan.com/kabar-harian/ap...O9IqdSZEt/full
-https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20211101162308-192-715118/peneliti-bongkar-gerak-terorganisir-buzzer-hingga-besar-gaji/2.


Editor : Ayahdidien 

0/Post a Comment/Comments