Prof. Dr. TM. Jamil, Ilmuwan Sosial dan Akademisi USK ; PASANGAN CAGUB ACEH 2024 TELAH MENDAFTAR : JANGAN SAMPAI RAKYAT MENANTI JANJI KOSONG DAN HARAPAN PALSU

SETELAH proses pendaftaran Calon/Wakil Gubernur Aceh 2024 di KIP, media ini ingin mendapatkan tanggapan tentang Ekonomi Aceh ke depan dari Prof. TM. Jamil, sebagai Ilmuwan Sosial dan juga Akademisi USK. Berikut laporan dan hasil liputan kami.

Dalam pengamatan saya pribadi, kata Pak TM, Siapa pun yang akan keluar sebagai pemenang bisa dipastikan perekonomian Indonesia bakal tetap bersifat nasionalis dan populis, terkesan merakyat. Ini karena kedua ‘komoditas’ ini sangat manjur untuk menyenangkan hati dapat menarik simpati rakyat. Soal realistis atau tidak, itu urusan nanti dech, paparnya.

Kini dengan semangat menggebu, nasionalisme dan populisme dikibarkan oleh para politisi yang ikut bertanding dalam Pilkada Aceh 2024. Meski saling serang, janji mereka pada umumnya sama. Yaitu menurunkan biaya hidup sekaligus menaikkan pendapatan rakyat, dan "membangun pengangguran" ehhh membangun perekonomian yang mandiri dan modern.

Suka atau tidak, meski tampak ideal, pembangunan ekonomi daerah yang diidamkan banyak orang ini bisa berbiaya mahal. Ini karena bisa memaksa pemerintah memberi subsidi besar-besaran dan proteksi kepada kepada para produsen lokal. Akibatnya, banyak anggaran belanja pembangunan tergerus oleh subsidi, dan pendapatan negara makin tipis karena pemotongan pajak. Untuk itu, berhati-hatilah, Prof. TM, mengingatkan.

Ingat, Di masa Orba dulu, hal ini menjebak Indonesia dalam ekonomi biaya tinggi. Ketika itu, pemerintah menutup akses bagi pendatang baru agar industri yang ada bisa tumbuh cepat. Pemerintah juga memberi hak monopoli dan oligopoli kepada sejumlah konglomerat agar mereka bisa menjadi raksasa bisnis yang bisa diandalkan sebagai garda terdepan seperti Mutsubishi, dan lain-lain.

Akibatnya harga menjadi mahal karena masyarakat terpaksa membeli barang dari produsen yang itu-itu saja. Sebaliknya, para produsen memasang harga setinggi mungkin karena konsumen tak punya pilihan lain selain membeli dari produk mereka. Ini sangat berbahaya untuk kelanjutan ekonomi rakyat.

Runyamnya lagi, pemerintah juga mengarahkan kredit perbankan, yang ketika itu mendominasi bisnis perbankan, kepada para penguasaha. Akibatnya Pada 1998, kredit yang sarat dengan kepentingan politik ini macet total dan sangat parah. Indonesia dilanda krisis moneter terparah dan membuat rakyat mengamuk di jalanan. Bagaimana pula dengan Aceh ke depan? 

Lanjut Prof. TM, Kasus semacam ini sekarang juga terjadi di beberapa negara sejak penguasa disana melancarkan perang dagang melawan negara-negara pemasok alumunium dan baja ke negaranya.

Hasilnya, industri seperti di Amerika harus membeli alumunium dan baja dari pabrikan lokal meski mereka mematok harga lebih mahal ketimbang yang dari impor. Di era Orba, karena digerus oleh berbagai subsidi, pembangunan infrastruktur juga kerap tersendat-sendat, sehingga Indonesia ketinggalan jauh dari negara-negara tetangga. Sungguh menyedihkan.

Salah satu subsidi paling boros adalah untuk sektor energi, terutama bahan bakar dan listrik. Subsidi pertanian juga tak kalah berat karena nafsu besar untuk swasembada pangan. Kini, gara-gara buruknya infrastuktur, Indonesia menjadi seperti penampung industri berteknologi rendah, yang sudah mulai diabaikan di negara-negara maju. 

Industri semacam ini bernilai tambah ekonomi minimum, sehingga sulit diandalkan sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi. Akhirnya, Tak memperpanjang kontrak eksploitasi ladang migas yang berada di tangan asing kini juga diandalkan sebagai bukti nasionalisme oleh pemerintah. Bila pemenang pilkada Aceh mendatang berniat melanjutkan aksi yang nasionalistik ini, tentu perlu memperhitungkan biaya dan manfaatnya. Agar tidak terjadi eksploitasi alamnya, pesan Pak TM.

Ingat, ladang-ladang migas, termasuk di Aceh sudah berpuluh tahun dieksploitas sehingga membutuhkan tekonologi dan keahlian lebih canggih, serta modal sangat besar agar produktivitasnya tak merosot. Kini kebijakan nasionalistik, yang tampaknya dilakukan tanpa perhitungan matang ini, terbukti telah membuat produksi migas nasional merosot, bahkan hasil produksi migas Aceh tak terbaca data. Jika begini, apa yang bisa diharapkan rakyat? Sudahlah, jangan lagi rakyat Aceh dibohongi, ungkap Prof. TM.

Kemerosotan ini, yang dibarengi dengan meningkatnya konsumsi, membuat impor migas berperan terbesar terhadap defisit neraca perdagangan secara keseluruhan. Sialnya lagi, tak satu pun pembangunan kilang migas telah terealisasi, membuat ketergantungan Indonesia dan Aceh pada BBM impor bakal kian tinggi. Lahannya bahkan belum tersedia meski dua raksasa migas dari Rusia dan Arab Saudi sudah tiga tahun menyatakan siap sebagai penyandang dana. Bisa jadi, ada campur tangan masalah politik dalam hal ini mengingat ada Amerika yang anti Rusia, dan kecemasan dari menguatnya pengaruh Wahabi di Indonesia.

Bagaimanapun juga, sumber persoalan yang harus diperhatikan serius oleh siapapun pemenang pilpres adalah ledakan penduduk yang bertambah 5 juta per tahun. Artinya pemerintah harus sanggup untuk dapat memperluas lapangan kerja, memacu pertumbuhan ekonomi agar lebih cepat dan merata, meningkatkan produksi pangan, dan mempercepat pembangunan infrastruktur secara lebih cermat agar tak menjadi beban ekonomi seperti jalan tol Banda Aceh - Pidie. Di tengah melesatnya jumlah penduduk seperti sekarang, berjanji stop impor pangan memang gampang. Namun, apakah itu yang diinginkan rakyat?.Tanya Prof. TM.

Namun, mengingat makin banyaknya sawah berubah fungsi dan meningkatnya konsumsi, tentu tak mudah merealisasikan janji yang meninabobokkan Aceh lagi. Apalagi kini banjir dan kekeringan kerap melanda Indonesia, termasuk Aceh, sehingga produksi pangan tak menentu. Semua hal yang dikemukakan itu, jelas membutuhkan investasi sangat besar oleh pemerintah maupun swasta. Maka, pilihan pemerintah daerah medatang adalah menaikkan penerimaan melalui pajak, dan retribusi yang bisa merongrong popularitasnya; atau berburu utang lagi dengan risiko menuai cercaan dari berbagai penjuru nusantara.

Cara lain adalah meningkatkan peran swasta, yang belakangan makin kehilangan minat. Pertumbuhan investasi tahun lalu, menurut kepala BKPM Thomas Lembong, mengecewakan. Turun dari di atas 10 persen menjadi hanya sekirar 4 persen. Tampaknya ada kekhawatiran di kalangan investor bahwa ekonomi akan memburuk akibat pembangunan yang sembrono. Mereka mengacu pada pembangunan infrastruktur secara masif dan tak transparan karena tanpa melalui proses tanpa tender terbuka. Diborongkan begitu saja kepada BUMN sehingga tak jelas berapa sesungguhnya biaya yang dibutuhkan.

Ini mengacu pada kenyataan bahwa, di tengah proses pembangunan yang sedang berjalan, berulang kali terjadi renegosiasi dengan pemerintah tentang perubahan rencana dan biaya. Maka tak aneh bila upaya pemerintah mencari dana segar dengan menjual proyek jalan tol yang sudah jadi mengalami kegagalan. Bagi para investor profesional, hal itu sama dengan membeli kucing dalam karung.Hal lain yang tampaknya membuat investor malas berkiprah di Indonesia, termasuk Aceh adalah masih merajalelanya pungli dan "pajak preman."

Ini sangat membingungkan karena kesadaran, kalau tak mau membayar pungli bisnis bisa macet karena masalah perizinan dan selalu kalah tender. Sebaliknya, kalau membayar bisa kena OTT KPK. Nah, sekarang kita tunggu apa yang benar-benar akan dilakukan oleh pemenang pilkada Aceh mendatang. Benarkah mereka punya rumus jitu untuk memyelesaikan persoalan ekonomi yang tak kunjung tuntas. Yang penting jangan sampai rakyat dihadapkan pada serangkaian janji kosong dan kebohongan serta harapan palsu. Kesabaran mereka bisa habis, jika terus diperlakukan dengan cara-cara dan memberi harapan yang tak pasti, tutup Prof. TM.(Redaksi1)

0/Post a Comment/Comments