Oleh: Taufan S. Chandranegara, praktisi seni
APA betul tanda koma bisa dibaca. Kalau tidak bisa dibaca mungkin bukan koma. Persoalan bisa dibaca atau tidak, tak penting apabila kritik edukatif tak lagi hadir atau bisa juga tidak diperlukan. Wah! Hebat. Pendidikan tanpa kritik edukatif. Nah! Apa betul begitu. Bisa iya bisa tidak. Apakah itu isme dilema. Bisa iya bisa tidak. Loh!
Apa betul kritik edukatif tak hadir lagi. Mungkin kalau edukasi tak hadir untuk dikritisi. Wah! Kenapa bisa begitu. Mungkin begitu, mungkin tak begitu. Kritis mengkritik baik untuk kesehatan pikiran. Kalau tak lebay, ngambek, cemberut, ngomel-ngomel di angkasa maya. Pacaran pun bisa kritis akibat pilihan parfum berbeda.
Bagaimana nasib lifestyle modernism di ranah kritik edukatif. Kalau kritik edukatif tak ada lagi buat apa mengkritisi sebab dari akibat tak ada hal patut dikritik. Gawat! Bisa bikin kulit wajah cepat keriput. Kalau tak ada kritik hidup terasa hampa loh. Namun hal tersebut bukan benang kusut sulit terurai. Apakah edukasi masih perlu uraian.
Mengurai kritik edukatif masih diperlukan. Apabila pada musim bunga terjadi adegan “Terserah gue dong mau korupsi apa aja. Ini zaman modern. Domain jabatan gue.” Pemeo dialogis bagaikan cerita khayal dalam koma tanpa tanda petik titik-titik. Catet cuy. Korupsi hal terburuk di indeks kenegaraan. Tapi nongol melulu di sono di sini.
Hahaha zaman tekno tak selalu hebat bak deus ex machina, dramatis, muncul di adegan akhir umumnya. Manusia menjadi aktor dalam kaleng seolah-olah sang adil penyelamat soal terumit jadi mudah. Tampil seolah-olah satire komedi alegoris dengan bermacam-macam watak. Melakukan peniruan perilaku peranan aktor utama mungkin saja.
Seolah-olah terpola katarsis pada mesin tekno seakan-akan tak terbatas. Meskipun, hanya sampai pada tingkat perencanaan teknis asosiatif terpadu sebagaimana bejana berhubungan. Padahal hasil meniru analog natural agar tampak canggih. Mampu melihat awan dari dalam lemari besi setelah program dirancang bangun laiknya tekno sahih terlihat cerdas hihihi.
Lantas telepon seluler jadi pahlwan wkwkwk. Mencatat peristiwa personal meski otak manusia dibikin malas akibat tanpa aktivitas analog. Kegiatan sel otak menurun bertahap. Jantung memerlukan etape aktivitas pemacu olahraga sehat. Itu bedanya dengan koruptor tak perlu mesin pemacu jantung pun mahir sulapan dalam satu kata sihir.; Korupsi.
Keterbatasan tekno mesin sebatas peniruan situasi bentuk, iklim dari peristiwa natural. Tonton deh terjadinya tata cahaya adegan panggung. Melakukan tindakan peniruan dari tata laku cuaca natural. Ramai isu mesin tekno mampu meniru bagaikan perasaan manusia mampu merubah warna huahaha; hal itu terjadi setelah di program oleh manusia cuy.
Tekno mesin, mungkin bisa disebut program dengan predikat canggih, supercanggih, tetaplah berbasis data asupan dari manusia pembuatnya untuk menjadi alat pembantu bergiat sehari-hari dengan kapasitas maksimal tertentu tanpa nurani. Tekno apapun itu, berbeda dengan pelengkap nalar manusia pemilik sel-sel otak buatan Ilahi.; Catet tuh.
Catatlah dengan huruf kapital tebal wahai nun di sana; sebagai manusia koruptor pun punya otak waras. But why gituloh digunakan untuk korupsi alias mencuri triliun milik negara, di dalamnya terkandung hak-hak publik. Koruptor kagak ade matinye cuy! Yak ellah.
Sumber : JAKARTASATU.COM
Posting Komentar