Salah satu kelengkapan kesempurnaan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah adalah akal fikiran. Dengan akal fikiran ini manusia bisa membedakan antara yang baik dan buruk, bisa mengembangkan dan menghasilkan ilmu pengetahuan baru dan teknologi secara terus menerus. Lebih rai itu, tentu saja yang paling mendasar adalah keberadaan akal fikiran dalam diri manusia merupakan unsur yang membedakan manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Terutama bila dibandingkan dengan binatang.
Pada setiap waktu dan kesempatan manusia senantiasa menggunakan akalnya untuk berfikir. Namun demikian ada perbedaan cara berfikir antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Ada manusia yang berfikir secara sederhana dan sambil lalu yaitu berfikir mengenai hal-hal yang dihadapinya sehari-hari dengan tanpa mendalam. Misalnya, manusia berfikir tentang apa kegiatannya hari ini: sekolah, bekerja, bermain, alah raga, dan lain-lain. Lalu berfikir yang didorong oleh nafsu dasar manusia seperti mau makan apa, dimana, punya uang apa tidak, dan sebagainya.
Model berfikir terhadap hal-hal yang harus dilakukan atau kegiatan apa yang mesti dilakukan hampir pasti dilakukan oleh semua manusia.Sebagian manusia berfikir dengan cara ini. Namun ada kegiatan berfikir yang lebih dalam dari sekedar berfikir tentang aktivitas harian, yaitu cara berfikir yang lebih mendalam melalui perenungan, berfikir yang lebih serius dan kontemplatif. Memikirkan hal-hal yang sangat substantive tentang diri dan kehiduoan. Berfikir yang disebutkan di akhir ini yang kemudian disebut dengan tafakkur.
Tafakkur adalah cara berfikir yang dilakukan melalui perenungan yang dalam dan menggunakan energi akal fikiran yang totalitas. Dalam tafakkur, obyek yang difikirkan bukan lagi pada persoalan-persoalan yang sederhana tentang aktivitas harian manusia dan kebutuhannya, tetapi lebih mendalam lagi, seperti tentang arti keberadaan manusia, ciptaan Allah dengan segala keunikannya, nikmat-nikmat Allah yang diberikan, tentang alam semesta, persoalan kehidupan sosial, arti dan makna hidup, dan sebagainya. Berfikir dalam bentuk tafakkur ini tidak semua orang mau melakukannya, karena itu manusia yang mau bertafakkur jumlahnya tidak banyak.
Padahal di dalam Al-qur’an, banyak ayat-ayat yang menjelaskan dan mengajak manusia untuk menggunakan akal fikirannya dan terus menerus melakukan tafakkur. Kita bisa baca misalnya dalam surat Al-Baqarah:219.
…كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُوْنَۙ
“…Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan”, (QS.Al-Baqarah: 219).
Manusia yang selalu menggunakan akal fikirannya untuk bertafakkur, maka oleh Allah SWT disebut sebagai para Ulul Albab, yaitu mereka yang senantiasa berfikir merenungkan ayat-ayat Allah baik ketika berdiri, duduk dan ketika berbaring seraya. mengucapkan pujian atas kebesaran Allah, bahwa yang Allah ciptakan tidaklah ada yang sia-sia. (QS.Ali Imron:190-191). Senada dengan hal itu di beberap ayat lain Allah SWT menegaskan tentang pentingnya menggunakan akal fikiran untuk memperbanyak bertafakkur. Di dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang penghujungnya ditutup oleh Allah dengan kalimat Afalaa Ta’qiiluun (Apakah kamu tidak menggunakan akal?, QS.Al-Baqarah: 44,76; QS. Ali Imron:65; QS. Al-An’am:32) ; Afalaa tatafakkaruun (Apakah kamu tidak berfikir?, QS. Al-An’am:50); Afalaa tatadabbaruun (apakah kamu tidak berusaha memahaminya?, QS. Muhammad:24).
Kurang apa lagi penegasan Al-Qur’an tentang pentingnya menggunakan akal fikiran yang kita miliki untuk senantiasa bertafakkur. Belajar dari sirah nabawiyah, dahulu ketika nabi kita Muhammad belum diangkat menjadi rasul utusan Allah, Beliau melakukan aktivitas khalwat (menyendiri) di Gua Hira. Muhammad muda merasa gelisah dengan kehidupan sosial yang ada sekitarnya, Beliau merasa ada yang salah dengan bangsanya, ada praktek kehidupan yang berdasarkan hati nurani dan akal fikirannya tidak sesuai dengan nilai keutamaan manusia. Maka yang Beliau lakukan adalah menyendiri di Gua Hira untuk melakukan tafakkur memohon petunjuk kepada Tuhan yang menguasai alam. Hingga pada suatu malam di bulan Ramadhan Beliau mendapatkan petunjuk itu dengan diturunkannya wahyu pertama oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril.
Hal yang sama pernah dilakukan oleh Hujjatul Islam, Al-Ghazali, yaitu ketika ia dilanda kebimbangan hebat untuk mencari jalan dalam menemukan tentang makna hidup dan kehidupan. Berbulan-bulan ia “mengasingkan diri” dari kehidupan ramai, menarik diri untuk tidak berhubungan dengan kehidupan duniawi. Tujuannya cuma satu, yaitu melakukan tafakkur, merenung dan melakukan kontemplasi untuk menemukan jawaban atas persoalan yang ia hadapi. Hingga setelah berbulan-bulan Al-Ghazali melakukan itu, maka ia menemukan jawaban atas persoalan yang ia hadapi. Jawaban itu yang ia nyatakan sendiri bahwa jalan untuk menemukan makna hidup yang sesungguhnya adalah melalui jalan tasawuf.
Demikianlah tafakkur, telah dilakukan oleh Nabi kita dan orang-orang dalam golongan khowasul khowas (orang-orang pilihan). Tinggal kita meneladaninya. Memperbanyak tafakkur akan mengingatkan manusia tentang arti dan makna dari kehidupan manusia. Tafakkur akan menjadikan manusia tidak pernah berhenti bersyukur atas segala nikmat yang sudah diberikan Allah Swt. Tafakkur akan melahirkan pemikiran-pemikiran yang brilliant, sumber dimana pengetahuan dilahirkan. Dan yang lebih penting lagi, tafakkur akan mengingatkan manusia untuk terus melakukan instrospeksi diri tentang apa yang sudah, sedang dan akan dilakukannya untuk hari esok. Apakah banyak kebaikan yang sudah ia lakukan ataukah sebaliknya banyak dosa dan maksiat yang sudah diperbuat.
Ali Syariati, seorang cendekiawan muslim asal Iran pernah menyatakan salah satu kelemahan umat Islam adalah kekurangan berfikir (bertafakkur) sehingga lupa bahwa banyak tugas-tugas sosial umat yang harus dilakukan. Hal ini sebagaimana pernah ia nyatakan: “Kemiskinan sejatinya bukanlah semalam tanpa makan, melainkan sehari tanpa berfikir”. Kuntowijoyo, cendekiawan muslim Indonesia, menyebutkan adanya tiga matra kehidupan yang harus dilakukan seorang muslim, yaitu berdzikir (tadzakkur), berfikir (tafakkur), dan beramal (amal shaleh).
Ramadhan seperti sekarang ini adalah momentum bagi kita umat Islam untuk memperbanyak tafakkur. Di saat kita memiliki banyak waktu untuk rehat dan banyak beribadah kepada Allah SWT di bulan suci ini, disamping puasa, shalat malam, membaca al-Qur’an, berdzikir, bersedekah, I’tikaf di masjid, maka tidak ada salahnya dan sudah seharusnya jika kita banyak bertafakkur kepada Allah SWT. Mari…! (*)
Sumber: metrouniv.ac.id
Posting Komentar